Jakarta, Indonesia, 15 Juli 2024 – 16 tahun telah berlalu sejak Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor-Leste menyerahkan Laporan Akhir berjudul “Per Memoriam Ad Spem“, yang berarti ‘melalui kenangan menuju harapan’ kepada pemerintah Indonesia dan pemerintah Timor-Leste pada 15 Juli 2008. Laporan ini mendokumentasikan secara komprehensif pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Timor Timur selama periode pendudukan 1975-1999 yang salah satunya berdampak pada ribuan anak Timor-Leste – saat ini telah dewasa – yang dipindahkan secara paksa ke Indonesia, yang saat ini dikenal sebagai stolen children. Hingga kini pun, masih banyak dari mereka yang terpisah dari keluarganya selama berpuluh-puluh tahun dengan trauma berkepanjangan, tetap menjaga harapan untuk bertemu.
Laporan ini menjadi pengingat penting tentang sejarah kelam antarkedua negara, dan pentingnya menegakkan keadilan, akuntabilitas, dan rekonsiliasi antarkedua negara. Sebelumnya, Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste atau CAVR dalam laporan Chega! (2005) dan KKP membuat rekomendasi-rekomendasi agar Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste mengambil langkah efektif untuk menemukan individu-individu ini dan memfasilitasi reuni dengan keluarga mereka. Sayangnya, berbagai rekomendasi sampai sekarang belum dilaksanakan dengan serius, khususnya oleh pemerintah Indonesia, salah satunya untuk membentuk komisi khusus guna mengusut kasus orang hilang. Hal ini mengakibatkan lambatnya proses pencarian, identifikasi, dan reunifikasi para korban dengan keluarganya.
Sejak tahun 2013, upaya pencarian dan reunifikasi anak-anak hilang telah diinisiasi oleh masyarakat sipil dari Indonesia dan Timor-Leste, melalui Kelompok Kerja Labarik Lakon. Hingga tahun 2024, tercatat sebanyak 176 anak yang hilang (saat ini sudah dewasa) telah ditemukan dan terdokumentasikan, yang berujung pada 101 anak yang telah bertemu kembali dengan keluarganya di Timor-Leste. Upaya ini menunjukkan bahwa pencarian dan reunifikasi orang hilang adalah hal yang mendesak dan penting untuk dilakukan melalui mekanisme formal dari kedua negara. Sudah saatnya pemerintah Indonesia dan Timor-Leste mengambil tanggung jawab penuh dengan melakukan tindakan nyata.
Presiden Joko Widodo, dalam masa jabatan keduanya, belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk menyelesaikan isu ini. Peraturan Presiden (Perpres) nomor 72 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Implementasi Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor-Leste yang merupakan dasar penyelesaian kasus belum kunjung diperbaharui. Di sisi lain, Presiden Timor-Leste José Ramos-Horta telah menyatakan dukungannya untuk proses reunifikasi keluarga dari anak-anak yang dipisahkan. Merunut serangkaian janji kepada korban pelanggaran berat HAM termasuk korban penghilangan paksa pada awal masa pemerintahannya, kami mendesak Presiden Jokowi secara resmi merespons kehendak baik dari Presiden Timor-Leste tersebut.
Kehendak tersebut seharusnya dijawab dengan melakukan kerja sama antarkedua negara, membentuk Komisi Pencarian Orang Hilang untuk membantu menyatukan kembali anak-anak Timor yang dipisahkan dengan anggota keluarga mereka serta membangun kembali kehidupan mereka. Dalam kerangka ini, penting untuk Indonesia segera meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen negara untuk mencegah keberulangan peristiwa di masa yang akan datang.
Harapan yang cenderung redup, dengan perkembangan terkini ketika Presiden Joko Widodo pada Agustus 2021 dan Februari 2024, malah menganugerahkan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres dan kenaikan pangkat secara istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto – dua orang yang berperan dalam pelanggaran HAM selama masa konflik 1975-1999. Kedua hal ini merupakan bentuk mengakarnya impunitas yang melindungi pelaku pelanggaran HAM sementara anak-anak yang hilang dan korban dibuat menanti keadilan tanpa kepastian.
Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak Presiden Joko Widodo untuk:
- Segera mengadakan Senior Official Meeting (SOM) ke-8 dengan melibatkan Komnas HAM dan National Human Rights Institution terkait untuk memantau implementasi rekomendasi KKP;
- Memprioritaskan agenda pembentukan Komisi Orang Hilang dan pemenuhan hak korban dalam pembahasan SOM;
- Memperbarui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Implementasi Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor-Leste sebagai bentuk komitmen awal untuk mengimplementasi Laporan Akhir KKP; dan
- Meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah terulangnya kejahatan serupa.
Kelompok Kerja untuk Labarik Lakon / Working Group for Stolen Children (Indonesia & Timor-Leste)
Komunitas Labarik Lakon
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) — Indonesia
Asia Justice and Rights (AJAR) — Indonesia & Timor-Leste
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) — Indonesia
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya — Indonesia
Asosiasaun HAK — Timor-Leste
Asosiasaun Chega Ba Ita (ACbit) — Timor-Leste
Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah – Indonesia