Pidie, Aceh, Indonesia, 25 April 2024 – Di atas sisa bangunan Rumoh Geudong, salah satu situs pelanggaran HAM berat di Kabupaten Pidie, Aceh, berdiri tiang pancang dan pagar-pagar seng merah. Ratusan korban dan keluarga dirundung duka karena tidak bisa lagi berziarah dan berdoa di tempat yang pernah menjadi saksi bisu penderitaan mereka. Untuk beberapa keluarga korban yang hilang di sana, tidak ada kuburan untuk diziarahi, dan kini, tempat terakhir untuk mengingatpun tertutup.
Para korban dan keluarga harus melakukan samadiyah (doa bersama) di Meunasah Gampong Bilie Aron yang berjarak 150 meter dari lokasi Rumoh Geudong. Padahal mereka sudah menempuh jarak yang jauh, berdatangan dengan sepeda motor, mobil bak terbuka, dan bus sekolah dari berbagai wilayah seperti Trienggadeng, Tiro, Sakti, Mutiara, dan Glumpang Tiga.
Rumoh Geudong adalah tempat penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan pembunuhan yang paling diingat dan dikenang oleh rakyat Aceh. Sejak tahun 2017, berjalan dua upaya paralel untuk membuka ruang keadilan bagi korban, baik secara yudisial maupun nonyudisial – yang keduanya bertumpu pada partisipasi korban dan penyintas. Korban, keluarga korban, dan masyarakat sipil rutin menggelar acara di tempat yang dahulu menjadi bekas Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer di Aceh, merawat cerita para korban dan penyintas, dan menuntut keadilan atas pelanggaran yang mereka alami. Sepanjang tahun 2018 hingga 2020, lembaga swadaya masyarakat PASKA Aceh mencatat sekitar 2.500 orang datang untuk melakukan ziarah dan samadiyah. Inisiatif korban ini sejalan dengan perspektif keadilan transisi yang menempatkan memorialisasi sebagai komponen penting dalam merawat kebenaran, pemulihan, dan memastikan pertanggungjawaban hukum negara.
Sejalan dengan upaya memorialisasi korban, Komnas HAM telah menyelesaikan Penyelidikan Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya pada 28 Agustus 2018, dan mengirimkan laporan penyelidikan ini kepada Jaksa Agung RI sesuai ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setelah itu, hingga bulan Desember tahun tersebut terus terjadi bolak-balik pengembalian berkas kasus antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Berdasarkan hasil audiensi yang dilakukan dengan Kejaksaan Agung, dan pertemuan dengan Komnas HAM pada 24 April 2024, terkonfirmasi bahwa berkas kasus ini terakhir berada di Kejaksaan Agung dan belum dikembalikan ke Komnas HAM sejak Desember 2018. Alasan mengapa bolak-balik berkas ini tak kunjung usai karena kurangnya ‘alat bukti’ yang bisa menguatkan bahwa kasus ini benar kasus pelanggaran HAM berat.
Dalam proses advokasi dan pengungkapan kebenaran yang berjalan paralel tersebut, inisiatif negara melalui PPHAM seolah menihikan apa yang dimulai korban dan penyintas melalui mekanisme yang tersedia. Upaya memorialisasi korban juga harus terhenti secara paksa semenjak sisa bangunan Rumoh Geudong dihancurkan pada 20-21 Juni 2023. Penghancuran Rumoh Geudong adalah tindakan tercela yang bertujuan untuk menghilangkan bukti, menyembunyikan kebenaran, dan memadamkan memori kolektif rakyat Aceh tentang tragedi berdarah di sana. Penghancuran ini dilakukan oleh tim pemerintah daerah Kabupaten Pidie sebagai bagian dari persiapan kick-off Pelaksanaan Rekomendasi Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (PKPHAM). Pasca acara tersebut, pemerintah akan membangun Memorial Living Park Rumah Geudong Pidie Aceh yang akan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang memakan biaya hingga 17 miliar rupiah, dikoordinasikan melalui Kementerian Hukum dan HAM.
Farida Haryani, Direktur Paska Aceh menegaskan saat itu, “Penghancuran ini sangat merendahkan martabat korban dan masyarakat setempat. Suara mereka telah diabaikan dalam proses ini.”
Tak hanya suara yang terabaikan, kekhawatiran korban dan masyarakat sipil terbukti benar ketika tulang belulang manusia ditemukan oleh para pekerja yang sedang menggali bekas kolam selokan di sebelah kiri tangga sisa-sisa Rumoh Geudong guna pembangunan monumen, sepanjang Oktober hingga November 2023. Dengan temuan ini, petunjuk tentang adanya pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) semakin nyata. Diduga kuat, tulang belulang tersebut adalah sisa jasad korban semasa konflik Aceh, terutama sepanjang pemberlakuan daerah operasi militer pada 1989-1998.
Temuan tulang belulang di Rumoh Geudong menguatkan laporan temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) “Peulara Damee“, yang mengungkapkan adanya ribuan kasus pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa selama konflik Aceh, salah satunya yang terjadi di Rumoh Geudong. Temuan ini juga berdasarkan 4.765 pernyataan yang dikumpulkan KKR Aceh, terdapat 1.135 tindakan pembunuhan yang tidak sah serta bertentangan dengan hukum dan 371 tindakan penghilangan paksa.
Lambannya respon negara amat mengkhawatirkan. Komnas HAM berjanji segera berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung selaku penyidik kasus pelanggaran HAM Rumoh Geudong di Aceh untuk bisa melakukan uji forensik dan tes DNA atas temuan tulang manusia yang terkubur di sana, namun hingga saat ini sama sekali tidak ada upaya menghentikan sementara pembangunan living park sejak penemuan pertama tulang belulang pada Oktober tahun lalu.
”Menimbang berbagai hal tersebut, organisasi masyarakat sipil mendesak Pemerintah untuk melakukan penghentian sementara pembangunan living park oleh pemerintah secara terburu-buru karena berpotensi adanya perusakan barang bukti, atau obstruction of justice,” desak Azharul Husna dari KontraS Aceh.
Dalam seruan bersama, organisasi masyarakat sipil mendesak agar:
- Komnas HAM agar melakukan tindakan aktif dengan cara turun melakukan pemantauan serta tindak lanjut yang diperlukan dalam investigasi kasus Rumoh Geudong.
- Kejaksaan Agung agar menindaklanjuti hasil pro justitia Laporan Penyelidikan Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya, dengan menekankan bahwa temuan ini mampu menjadi dasar penguat kasus Rumoh Geudong dibawa ke Pengadilan HAM.
- Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk pembatasan informasi akan proses pembangunan living park ke masyarakat sekitar dan korban kekerasan Rumoh Geudong.
- Pemerintah memastikan segala proses pembangunan berprinsip pada pelibatan bermakna dari korban dan kelompok masyarakat sipil.
Pemenuhan hak korban pelanggaran HAM merupakan perwujudan hak konstitusional dan hak asasi yang paling mendasar. Negara harus mematuhi standar internasional dalam membangun memorialisasi, termasuk memastikan agar prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM dipenuhi. Langkah-langkah simbolik yang akan dilakukan harus ditindaklanjuti dengan reparasi komprehensif. Negara juga harus memastikan langkah-langkah perlindungan yang memadai bagi para penyintas dan keluarga korban sebagai bentuk pengakuan atas kerentanan dan ancaman yang mereka hadapi, sebagai akibat dari upaya mereka dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan melawan impunitas.