Artikel ini telah terbit dalam edisi cetak berbahasa Inggris The Jakarta Post dengan judul ”Rushing for a remedy without recognition”. Klik untuk membaca versi aslinya: https://www.thejakartapost.com/opinion/2023/06/29/rushing-for-a-remedy-without-recognition.html.

“Situasi saat ini buat saya adalah adalah kejutan. Saya tidak pernah mengira [hal ini mungkin terjadi saat] saya masih hidup.” kata Suryamartono dengan rendah hati, seorang eksil Indonesia berumur 80 tahun dari Czechoslovakia, yang kehilangan kewarganegaraannya pada 1965 setelah kekerasan 1965-1966. Suryomartono menyatakan hal ini pada acara Peluncuran Progam Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Indonesia. Bersama dengan delapan korban pelanggaran HAM lainnya, ia telah dipilih secara simbolik untuk menerima “rehabilitasi” dari Presiden. 

Di tengah kemegahan acara ini, AJAR memandang bahwa langkah awal upaya pemulihan ini hanya bersifat seremonial, tampak dipaksakan dan mengabaikan penghargaan terhadap martabat korban. Acara ini diawali dengan situasi kontroversial berupa penghancuran puing-puing Rumah Geudong untuk membuat tenda bagi acara ini yang membuat banyak pihak gusar. Para penyintas Aceh dan para pendamping telah bekerja untuk menjaga situs ini dengan penuh martabat, merawat ingatan masa lalu yang menyakitkan untuk memastikan tidak akan terulang lagi. 

Para korban tidak diberikan kesempatan yang cukup untuk menyampaikan pelanggaran HAM yang mereka alami, dampaknya terhadap kehidupan mereka serta harapan yang diinginkan.  Acara ini lebih terasa seperti acara “penyerahaan penghargaan”, orang-orang beruntung dipilih untuk memenangkan hadiah. Informasi rencana pelaksanan program berupa bantuan uang, bantuan kesehatan, beasiswa, peralatan pertanian, dll hanya disampaikan sekilas, tanpa ada kejelasan proses serta kriterianya. Di balik acara simbolik ini, kami melihat  proses yang terburu-buru  oleh PPHAM sehingga tidak menghasilkan data korban yang jelas. Ketergesaan ini menimbulkan kebingungan di antara korban dan keluarga mereka. Masyarakat sipil, terutama para pendamping korban, dibanjiri pertanyaan beragam dari para korban sehingga menimbulkan kekacauan. 

Seorang korban penyiksaan Rumoh Geudong, Tengku Abdul Wahab, yang aktif bergerak dalam advokasi, mengungkapkan kekecewaannya. “Mereka harusnya datang ke saya untuk minta maaf. Saya tidak rela rumoh geudong dihancurkan. Darah saya di sana. Saya tidak rela darah saya yang tumpah di sana diperlakukan seperti itu.” 

Di Aceh, mekanisme pengungkapan kebenaran telah berlangsung sejak tahun 2016 dan memberikan ruang untuk mendengarkan suara korban sebagai hal yang paling fundamental. Seorang korban perempuan yang bicara pada dengar kesaksian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh pada November 2022 mengatakan bahwa betapa pentingnya cerita korban didengarkan. “ Sebagai korban konflik, saya merasa sedih dan penuh kedukaan. Tapi saya senang hari ini karena saya bisa memberikan testimoni di depan anda semua.. Tidak ada yang pernah mendengarkan suara saya. Alhamdulillah, hari ini saya  bisa bercerita  tentang pengalaman saya dan memperlihatkan aspirasi saya sebagai korban” 

Galuh Wandita, direktur Asia Justice and Rights menyatakan: “Indonesia punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalunya. Untuk menyelesaikan persoalan ini, hal krusial yang harus dipertimbangkan melibuti: berkonsultasi dengan para korban dan pendamping  mereka serta  menciptakan proses yang inklusif untuk membuat sebuah mekanisme yang memastikan korban dapat terlibat dalam rangkaian proses yang dapat menghargai para penyintas. Tiga persoalan mendasar harus dipastikan: kepercayaan, waktu, dan transparansi. Upaya pemulihan harus memberikan gambaran holistik akan kebenaran: apa yang terjadi, siapa yang melakukan apa terhadap siapa, dan mengapa?”

Korban pelanggaran HAM di Indonesia telah mengalami pelanggaran selama puluhan tahun, mengalami stigma, diskriminasi dan dilupakan. Merehabilitasi persoalan masa lalu ini tidak bisa dilakukan secara terburu-buru dan memerlukan strategi serta membutuhkan waktu panjang. Pemerintah harus memastikan bahwa pemenuhan hak korban bersifat holistik dan saling berkaitan; pemenuhan hak demi kebenaran, pemenuhan keadilan, reparasi, dan janji untuk tidak terulang lagi. Proses inklusi harus dipastikan melalui partisipasi yang bermakna melalui keterlibatan korban pelanggaran HAM yang dapat menyampaikan peristiwa, harapan dan kebutuhan secara sukarela dan aman. Reparasi bukanlah bantuan sosial dan program pengentasan kemiskinan, sehingga prosesnya harus dilakukan secara berkelanjutan dan efektif. Sebagai upaya pemenuhan hak korban, pengungkapan kebenaran dan penghukuman kepada pelaku pelanggaran HAM tidak bisa dihentikan dan harus terus berlanjut.

Galuh Wandita adalah Direktur Asia Justice and Rights (AJAR).