Puluhan anak-anak muda eks Timor Timur di Kupang berkumpul dan dengan bangga menuturkan kisah hidup mereka dalam sebuah pameran karya bertajuk “Merajut Nasib pada Sepetak Tanah di Negeri yang Dijanjikan”. Berlangsung pada tanggal 21-24 Oktober 2023, anak-anak muda ini datang dari kamp di Desa Noelbaki, Tuapukan, dan Naibonat – belasan kilometer dari pusat Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Belasan foto bercerita dicetak dan dijajarkan dalam panel-panel, tiap-tiapnya menggambarkan suasana lingkungan kamp yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Anak-anak muda ini adalah bagian dari ratusan warga eks Timor Timur yang memilih menetap di Indonesia pasca referendum 24 tahun silam. Banyak dari mereka yang belum lahir saat keluarga mereka meninggalkan kampung halaman – namun hingga kini, kepastian hak mereka sebagai warga negara belum juga diperhatikan. Bertahun-tahun, mayoritas warga di kamp Noelbaki, Tuapukan, dan Naibonat masih tinggal di rumah-rumah yang umumnya terbuat dari kayu yang disusun rapat dan beratap seng dan daun nira, sebagaimana tergambar dalam foto dan kolase yang mereka buat dan tampilkan dalam pameran.
Anak-anak muda ini memimpikan hidup yang lebih baik untuk masa depan mereka. Pasca mereka terlibat dalam program Community Learning Centre yang AJAR adakan di masing-masing kamp sejak 2020, secara perlahan terbentuklah Uma Da Paz (bahasa Tetun dari Timor-Leste untuk ‘house of peace’). Uma da Paz, yang dinisiasi anak-anak muda dari 3 kamp, adalah komunitas belajar tentang pengalaman para pengungsi, membahas pendidikan politik dan HAM serta membantu penguatan kapasitas para anak muda. Salah satu kapasitas yang secara kolektif dikembangkan di sini adalah agrikultur. Di Naibonat, misalnya, beberapa petak kebun kolektif dikelola bersama secara bergantian oleh anak-anak kamp. Sedangkan di Noelbaki, sayur-sayuran ditanam bersama dan kelak, saat panen, juga dibagikan kepada warga kamp.
“Uma Da Paz diketahui oleh orang-orang yang bukan hanya tinggal di camp pengungsi tapi oleh masyarakat luas. Berkenalan dengan banyak orang, banyak komunitas dan kelompok belajar, cerita tentang kehidupan teman-teman Uma Da Paz didengar oleh banyak orang,” ungkap El Jose, salah satu peserta dari kamp Naibonat, dengan bangga.
Dihadiri lebih dari 250 orang, beberapa pengunjung bahkan mengungkapkan berbagai hal baru yang mereka pelajari saat melihat kehidupan di kamp lebih dekat, “Ini adalah kesempatan pertama saya mengenal kawan-kawan eks Timtim. Selama ini saya hanya tahu bahwa kawan-kawan eks Timtim pembuat onar, namun lewat pameran ini saya mengenal kawan-kawan sebagai manusia seutuhnya.”
Inisiatif mengagumkan yang turut didukung oleh Kedutaan Besar Swiss di Indonesia, melalui program penguatan kapasitas anak muda untuk demokrasi, perdamaian, dan hak asasi manusia yang dikelola oleh Asia Justice and Rights. Tessa Nerini, Sekretaris Pertama, Wakil Kepala Divisi Politik, Ekonomi, dan Kebudayaan Kedutaan Swiss melihat dan berinteraksi langsung dengan anak-anak muda ini, selain bertemu dengan Uskup Agung Kupang Mgr. Petrus Turang, serta perangkat desa Noelbaki dan Tuapukan.
Dalam kesempatan bertemu dengan Uskup Mgr. Petrus Turang, kawan-kawan Uma Da Paz ikut berkenalan dan menceritakan kegiatan yang mereka lakukan dalam upaya penguatan kapasitas dan pendidikan kritis bagi anak-anak muda di kamp. Uskup menyambut baik dan memberikan ruang bagi anak-anak muda untuk bercerita tentang kondisi kamp hari ini.
“Gereja tidak mau melangkahi peran dan tanggung jawab pemerintah untuk penyelesaian urusan tentang pengungsi ini. Gereja akan tetap membantu para umat di Noelbaki, Tuapukan dan Naibonat untuk mengembangkan kapasitas dengan sumber daya yang gereja miliki,” jelas beliau.
Pada pertemuan bersama perangkat desa Noelbaki, kawan-kawan Uma De Paz bergiliran menceritakan keprihatinan mereka dengan kondisi para pengungsi terutama para janda yang hidup di sana. Alina, salah satu anak muda yang tinggal di Noelbaki, bercerita bahwa dia merasa sangat prihatin dengan kondisi desanya. “Untuk makan saja katong susah sekali, kenapa kami masih menderita. Kami tahu bahwa bapak (kepala) desa adalah kawan kami yang juga sama-sama berjuang untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang kelanjutan nasib kami,” ujarnya yang turut diamini kawan-kawan lain.Kepala Desa Noelbaki, Oktovianus Logo Buke juga menyayangkan keterbatasan yang ada, melihat kewenangan pemerintah desa yang minim untuk membantu warga. Ini adalah kesempatan pertama, dari berbagai kesempatan nanti yang kami harap hadir, dari advokasi yang langsung dilakukan oleh warga kamp kepada pemerintahnya.
Dalam perjalanan pulang setelaha menutup acara pameran, anak-anak muda dari kamp saling bercerita. Manuela Martins, pernah bercerita kelak ia ingin bekerja di pusat industri saat dewasa. Tapi kini, melihat keluarga dan teman-temannya di kamp, ia mengungkapkan keinginannya terbesarnya: untuk diakui.
“Tidak ada seorangpun yang pantas menderita karena ketidakadilan. Kami warga eks Timor Tmur merasa bahwa kami belum mendapatkan hak kami sebagai warga negara Indonesia. Kami memiliki KTP yang menunjukan bahwa kami adalah bagian dari Indonesia, namun kerap kali kami masih dipanggil atau dikenal dengan sebutan “pengungsi”. Hak untuk diakui sebagai bagian dari Indonesia belum kami dapatkan. Hak yang tak dapat adalah luka yang tak sembuh. Namun hak yang tak didapat bukanlah akhir dari segalanya. Bukan alasan untuk menyerah dan bukanlah hambatan untuk berkembang.”