(Scroll down or click here to read the press release in English)
Menggugat Janji Reformasi: Warisan Impunitas dan Tertundanya Keadilan
Jakarta, Indonesia
21 Mei 2018
Ketika Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, Indonesia mengemban harapan besar untuk membangun demokrasi, setelah lebih dari 30 tahun mengalami pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara meluas dan sistematik. Tuntutan publik terhadap reformasi memandatkan amandemen konstitusi Indonesia yang kemudian menyertakan isu hak asasi manusia, menghapuskan unsur militer dalam susunan parlemen, membolehkan pembentukan partai politik baru dan pemilihan langsung untuk pimpinan daerah dan nasional. Reformasi juga memandatkan profesionalisme aparat negara, termasuk kepolisian dan militer. Pada 1999, MPR membuat komitmen untuk menuju “penyelesaian secara adil” terhadap konflik di Irian Jaya (sekarang Papua) dan Maluku, menyatakan komitmennya untuk membangun “sistem hukum yang menjamin keadilan dan kebenaran yang berdasarkan aturan perundangan dan hak asasi manusia”. Satu tahun kemudian, MPR menetapkan pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Selama 20 tahun reformasi, seiring dengan upaya-upaya penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, meski terhambat di tahap penyidikan Jaksa Agung. Pengadilan HAM juga terbentuk untuk tiga peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan, meski para pelaku pelanggaran HAM akhirnya bebas. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan dalih melanggar hak dasar korban pelanggaran HAM. Di tengah stagnasi akuntabilitas di tingkat nasional, pemerintah Aceh mengesahkan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Sementara Perdasus (Perda Khusus) Papua untuk pemulihan perempuan korban kekerasan dan pelanggaran HAM telah disahkan, namun tak kunjung dijalankan. Dalam RPJM tahun 2015-2019, Presiden Jokowi menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pembentukan komisi independen kepresidenan dan tidak kunjung dipenuhi.
Ketidakpedulian dan pengabaian pemerintah terhadap pelanggaran HAM masa lalu membawa implikasi yang serius untuk masa sekarang. Impunitas dan warisan pelanggaran-pelanggaran HAM menjadi potret kondisi HAM di Indonesia:
- kekerasan yang terus berlanjut di Papua
- peminggiran masyarakat adat dan pengambilalihan tanah dan hutan adat
- intoleransi terhadap kelompok agama dan etnis minoritas
- rekayasa perpecahan komunal untuk dapat dieksploitasi demi kepentingan politik
- berlanjutnya kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk terhadap penyintas yang pernah mengalami kekerasaan pada saat konflik
- serangan dan demonisasi pembela hak asasi manusia dijustifikasi dengan berbagai aturan yang lahir dari reformasi.
Akhir-akhir ini, kita bahkan dihadapkan pada mulai merayapnya militer dalam urusan sipil. Reformasi belum tuntas.
Dodi Yuniar, Program Manager Asia Justice and Rights (AJAR) Indonesia, mengatakan, “Dua puluh tahun setelah reformasi, pemerintah Indonesia belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengakui kebenaran tentang kekerasan yang meluas yang dilakukan oleh aktor-aktor negara, atau untuk mengadili para pelaku, dan untuk mencegah keberulangan serta memenuhi pemulihan kepada korban. Harapan keadilan masa depan bangsa yang lebih baik belum kunjung terwujud.”
AJAR mengingatkan kembali atas janji reformasi dua puluh tahun lalu. Sebagai bangsa yang bermartabat, negara harus segera memutuskan impunitas dengan membentuk kebijakan strategis dalam mengungkap kebenaran atas berbagai peristiwa kejahatan hak asasi manusia, menyediakan proses peradilan yang jujur dan transparan serta memulihkan hak-hak korban pelanggaran berat HAM. Pendokumentasian yang telah dilakukan oleh Komnas HAM dan Komnas Perempuan harus menjadi bagian dari fakta awal bagi upaya pelurusan sejarah bangsa. Perpecahan komunal untuk kepentingan politik semestinya bisa dicegah agar kehidupan kebersamaan dan toleransi anak bangsa tak terkoyak karena perbedaan identitas politik semata. Peran strategis TNI dan Polri harus dikembalikan dalam ruang profesional sebagaimana mandat reformasi.
Untuk informasi selanjutnya kontak:
- Dodi Yuniar, Program Manager AJAR Indonesia, telp. +62818267531, dyuniar@asia-ajar.org
- Indria Fernida, Regional Coordinator AJAR, telp. +628161466341, ifernida@asia-ajar.org
Informasi tentang situasi keadilan transisi di Indonesia dapat diacu kepada kasus studi Indonesia.
Unduh PDF pers rilis Bahasa Indonesia ini.
Contesting the Promises of Reformasi (Reform):
The Legacy of Impunity, the Postponement of Justice
Jakarta, Indonesia
21 May 2018
When President Soeharto stepped down on 21 May 1998, Indonesia had a great hope to develop democracy after more than 30 years of experiencing widespread and systematic human rights violations. The public demand for reformasi (reform) resulted in amendments to the Indonesian constitution: inclusion of human rights issues, removing the military from Parliament, allowing the formation of new political parties, and direct election of government officials at the regional and national levels. Reformasi also mandated professionalism of state institutions, including the police and military. In 1999, members of Parliament made a commitment to move towards “a just resolution” of conflicts in Irian Jaya (now Papua) and Maluku. They further stated their commitment to develop “a legal system that guarantees justice and truth based on the law and human rights”. A year later, Parliament formed a Human Rights Court and a Truth and Reconciliation Commission.
During these 20 years of reformasi, that have coincided with efforts for the respect, fulfillment, and protection of human rights, the National Human Rights Commission has investigated cases of serious violations of human rights, despite obstructions at the stage of investigation by the Attorney General. A Human Rights Court was formed to adjudicate three incidents of crimes against humanity, although in the end, the perpetrators were freed. The Truth and Reconciliation Commission was also cancelled by the Constitutional Court with the excuse that it violated victims’ basic rights. In the midst of stagnation for accountability at the national level, the Government of Aceh passed a bill according to Aceh’s unique Islamic legal system to establish a Truth and Reconciliation Commission in Aceh. At the same time, a special district regulation for the healing of women victims of violence and human rights abuses has been legislated in Papua, yet has not been implemented. In his Mid-Term Development Plan for 2015-2019, President Jokowi promised to resolve cases of serious human rights violations of the past by forming an independent presidential commission. This too has not been realized.
That the government ignores human rights violations of the past carries serious implications for us today. Impunity and a legacy of human rights violations paint a portrait of the human rights condition in Indonesia:
- violence continues in Papua
- indigenous peoples are marginalized, and their lands and forests expropriated
- intolerance towards minority religious and ethnic groups persists
- communal disintegration is engineered so that it can be exploited for political interests
- sexual and gender-based violence against women continues, including violence towards women survivors of violence experienced during past conflicts
- attacks against and the demonization of human rights defenders have been legislated through various regulations that were given birth by reformasi.
Recently, we have even been faced by the military that is beginning to crawl back into civilian affairs. Reformasi is not yet complete.
Dodi Yuniar, Asia Justice and Rights (AJAR) Program Manager for Indonesia, states, “Twenty years after reformasi, the Indonesian government has not yet shown a strong commitment to acknowledging the truth about widespread violence committed by state actors, prosecuting perpetrators, preventing the repetition of violations, or to fulfilling reparations for victims. Hopes for justice that can contribute to a better future for this nation have not been realized.”
We remember the promise of reformasi 20 years ago. As a nation of dignity, the state must immediately break impunity by developing a strategic policy to reveal the truth about a number of incidents of crimes against humanity, make provisions for an honest and transparent judicial process, and restore the rights of victims of serious human rights violations. Documentation already collected by the National Commission of Human Rights and the Women’s National Commission must be part of the initial facts in the effort to correct the historical record about our nation. Communal divisions on behalf of political interests should be prevented so that our life together and tolerance towards children of the nation are not torn apart just because of different political identities. The strategic role of the military and police must return to a space of professionalism in keeping with the reformasi mandate.
For further information, contact:
- Dodi Yuniar, AJAR Program Manager for Indonesia, telp. +62818267531, dyuniar@asia-ajar.org
- Indria Fernida, AJAR Regional Coordinator, telp. +628161466341, ifernida@asia-ajar.org
See AJAR’s case study on Indonesia for information about transitional justice in Indonesia.