News & Updates 17 May 2016

Reuni Anak-Anak yang Dipisahkan Secara Paksa Dengan Keluarga

Dili, 16 Mei, 2016. Setelah terpisah selama 20-40 tahun, sebelas orang (3 laki-laki dan 7 perempuan) yang sewaktu masih anak diambil secara paksa dari keluarganya pada masa konflik di Timor-Leste, kemarin bertemu kembali dengan keluarganya.

Mereka berasal dari Makasar, Balikpapan, Banjarmasin dan Jakarta. Peserta tertua bernama Gregorio Muslimin sudah kehilangan kontak dengan keluarga sejak tahun 1976, saat ia dibawa oleh tentara ke Indonesia. Sedangkan peserta termuda, Muhammad Ridwan, dibawa oleh tentara ke Indonesia sekitar tahun 1997. Pertemuan yang mengharukan mencerminkan persoalan kemanusiaan yang masih disisakan oleh konflik pada masa lalu.

Dalam laporan CAVR[1] (2005), diperkirakan sedikitnya ada 4000 orang anak-anak Timor-Leste yang dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka selama masa konflik 1975-1999. Pada tahun 2005-2008, Indonesia dan Timor Leste membentuk sebuah Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), yang merekomendasikan pembentukan sebuah komisi pencarian orang hilang, termasuk anak-anak yang dipisahkan karena konflik. Namun, hingga hari ini masih belum ada langkah konkrit untuk membentuk komisi ini.

20160615-untitled shoot-4110

Berbagai pola yang ditemukan dalam pemindahan anak-anak tersebut ke Indonesia. Sebagian besar anak-anak ini direkrut sebagi “tenaga bantuan operasional” (TBO) dengan tugas memikul logistik tentara. Mereka kemudian dibawa ke Indonesia dengan janji akan disekolahkan. Namun, pada kenyataannya hanya sedikit yang mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang baik. Pada tahun 1980-1990an, lembaga pendidikan keagamaan (pesantren) membawa anak-anak keluar Timor-Leste. Tidak sedikit dari mereka hidup terlunta-lunta, bekerja serabutan, tanpa mendapatkan kesempatan membangun kehidupan yang layak.

Saat ini masih banyak dari anak-anak tersebut yang telah menetap di Indonesia dan kehilangan kontak dengan keluarga. Mereka mengalami perubahan identitas yang signifikan; berganti keyakinan, perubahan nama, tercerabut dari budaya Timor namun tak melupakan juga ingatan tentang Timor-Leste.

Ini adalah kunjungan ketiga (2013, 2015, 2016) yang diorganisir oleh AJAR (Asia Justice and Rights.) Sejak tahun lalu AJAR bekerja sama dengan Komnas HAM, kantor Provedor Hak Asasi Manusia dan Keadilan (PDHJ), serta masyarakat sipil dari kedua negara, termasuk KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), Kontras-Sulawesi, dan Asosiasaun HAK, ACBIT (Asosiasaun Chega Ba Ita), Fundasaun Alola dan CVTL (Palang Merah Timor-Leste.)

Setelah melepas rindu dengan sanak-keluarga, para peserta reuni bertemu dengan pejabat tinggi di Timor-Leste, termasuk Provedor (Ketua PDHJ), Bapak Silverio Pinto, dan juga didampingi oleh Wakil Ketua Komnas HAM Indonesia, Bapak Dianto Bachriadi. Hari ini (17/5) para peserta diterima oleh Perdana Mentri, Bapak Rui de Araujo, serta bapak Presiden RDTL Taur Matan Ruak, di Istana Kepresidenen di Dili.

*

[1] CAVR adalah singkatan dari Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Leste dalam bahasa Portugis dan KKP adalah singkatan dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste