News & Updates 19 April 2016

Pengakuan dan Pengungkapan Kebenaran bagi Korban 1965: Tuntutan untuk Reparasi Komprehensif di Indonesia

Tanggapan AJAR terhadap Simposium 1965

JAKARTA, April 19, 2016

Pada tanggal 18 – 19 April 2016, sebuah simposium yang diselengarakan secara bersama oleh Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), Dewan Pertimbangan Presiden, Dewan Pers Indonesia, Komnas HAM dan beberapa universitas di Indonesia, menyelenggarakan Simposium Nasional: Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan. Dalam kegiatan dua hari tersebut, berbagai pihak diundang, baik dari kalangan akademisi, militer, praktisi termasuk para pembela HAM diundang untuk berbicara dan memberikan perspektif  dengan bertumpu pada hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan tragedi 1965.

Terlepas dari pernyataan beberapa petinggi, dan mantan petinggi, Negara dalam Simposium ini yang menunjukkan keengganan Negara untuk melakukan permintaan maaf dan pengakuan atas kekerasan di tahun 1965 serta meminta agar bangsa Indonesia melupakan masa lalu, sesi-sesi yang berjalan selama Simposium berlangsung dinamis, penuh tarik ulur pendapat dan debat terbuka tentang kekerasan yang terjadi di tahun 1965 dan tahun-tahun sesudahnya. AJAR menilai bahwa, apapun kekurangannya, Simposium ini merupakan salah satu langkah yang dapat memberikan kontribusi dalam membangun dialog antarpihak di Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Di sisi lain, AJAR melihat bahwa Simposium ini dapat menjadi langkah yang sia-sia jika tidak diikuti oleh langkah konkrit untuk menyelesaikan tragedi 1965 dan berbagai pelanggaran berat HAM lainnya yang terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, AJAR menekankan bahwa Negara wajib untuk memenuhi hak korban atas kebenaran, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi serta jaminan ketidakberulangan. Negara harus memastikan bahwa langkah tersebut harus didasarkan atas penghargaan dan pemenuhan hak dan martabat korban.

Direktur AJAR, Galuh Wandita, dalam sesinya di Simposium menyatakan, “Sudah waktunya Indonesia berani menatap masa lalu yang pedih dan mengakui pelanggaran HAM yang terjadi dalam skala luas, yang dilakukan oleh negara terhadap warganya sendiri. Pada esensinya negara harus mencoba memperbaiki apa yang telah dihancurkan. Saya percaya bahwa upaya ini akan memakan waktu yang lama, bahkan bergenerasi. Apa yang kita coba lakukan pada saat ini, akan diperbaharui dan diperbaiki dalam proses yang panjang kedepan. Tetapi sudah saatnya pemerintah Indonesia memulai perjalanan pemulihan ini, tidak lagi harus tertinggal dari berbagai upaya masyarakat sipil dan komunitas korban.”

AJAR mendesak agar pemerintah Indonesia segera mengimplementasikan rekomendasi yang dihasilkan simposium sebagai langkah pertama untuk pengakuan dan pencarian kebenaran. Pemerintah juga harus menjamin ruang yang aman untuk dialog dan kebebasan berekspresi dalam menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk kasus 1965 baik di level lokal maupun nasional, agar terciptanya proses pembelajaran yang membangun bagi semua pihak.

Pemerintah pun sebaiknya melaksanakan Program Reparasi yang Komprehensif yang mencakup pengakuan resmi atas pelanggaran yang terjadi dan melakukan pengungkapan kebenaran, menjadikan reparasi sebagai pelengkap mekanisme keadilan, memberi ruang kepada korban untuk mengembalikan kepercayaan mereka, melengkapi, tetapi berbeda dari, program-program pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih umum, dan memprioritaskan akses terhadap perempuan, anak-anak, dan warga yang tinggal di daerah terpencil.

 

Narahubung

Galuh Wandita
Direktur Asia Justice and Rights (AJAR)
tel/faks. +62 21 835 5550

gwandita@asia-ajar.org