Press release

Timor-Leste: Membawa Mereka Pulang — Lima Belas Stolen Children Dipertemukan Kembali dengan Keluarga Mereka

“Saya merasa terlahir kembali hari ini,” kata Antonio Ximenes dalam perjalanan menuju bandara di Bali. Dengan hati-hati, ia mengeluarkan foto hitam putih kakak perempuannya yang telah lusuh dari dompet. “Saya telah membawa foto ini selama 35 tahun. Foto ini adalah sumber kekuatan saya.” Keesokan harinya Antonio merengkuh kakak perempuannya di dalam pelukan panjang, di desanya dekat Same, Manufahi.

Antonio bersama empat belas “stolen children” (anak-anak yang dipisahkan, sekarang telah dewasa, tinggal di Indonesia) lainnya telah dipertemukan kembali dengan keluarga mereka pada 20-27 November. Asia Justice and Rights (AJAR), sebagai bagian dari kelompok kerja dari dua negara, telah menemukan para individu ini di Indonesia. Berdasarkan ingatan mereka, para anggota kelompok kerja mencari keluarga mereka di Timor-Leste. Galuh Wandita, Direktur AJAR menyatakan, “Menemukan dan mempertemukan kembali stolen children dengan keluarga mereka adalah bagian dari hal mendesak atas urusan yang belum selesai dari masa lalu yang penuh kekerasan dan tragis. Fakta bahwa kedua pemerintah telah berkontribusi untuk membiayai perjalanan reuni ini adalah langkah awal menuju upaya yang lebih besar dan berkelanjutan untuk menemukan anak-anak ini dan keluarga mereka. Sampai mereka dipertemukan kembali dengan keluarganya, mereka masih hidup dengan dampak dari pelanggaran yang mereka alami sebagai anak-anak bertahun-tahun yang lalu.”

Dalam kunjungan ini,15 penyintas datang dari Liquisa, Ermera, Aileu, Ainaro, Manufahi, Dili, Viqueque, Baucau dan Lautem. Mereka diambil dari keluarga mereka antara tahun 1977-1978, dengan hampir tidak ada kontak selama dua atau tiga dekade. Yang paling muda diambil ketika ia berumur enam tahun. Dari 15 penyintas, tiga adalah perempuan yang diambil ketika mereka berumur 8, 12 dan 13 tahun.

Komisi kebenaran Timor-Leste, CAVR (2005), menemukan bahwa beberapa ribu anak-anak Timor dipindahkan secara paksa ke Indonesia selama konflik (1975 1999). CAVR menemukan bahwa “praktek meluas dari pemindahan anak-anak menunjukan sebuah pola pikir bahwa dengan menguasai wilayah TimorLeste, Indonesia juga memperoleh kontrol tak terbatas atas anak-anaknya…anggota ABRI dan individu-individu lain yang memiliki kuasa di Timor-Lesre merasa bahwa mereka berhak untuk mengambil seorang anak Timor Timur pulang tanpa izin orang tua mereka.” Baik CAVR dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP, 2008) membuat rekomendasi-rekomendasi agar Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste mengambil langkah efektif untuk menemukan individu-individu ini dan memfasilitasi reuni dengan keluarga mereka. Setelah bertahun-tahun, kelompok-kelompok hak asasi manusia dari kedua negara telah mengambil inisiatif untuk memfasilitasi reuni keluarga-keluarga tersebut.

Sebuah Kelompok Kerja dibentuk pada tahun 2015, dipimpin oleh AJAR, melibatkan kelompok masyarakat sipil seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Labarik Lakon-Sulawesi di Indonesia, dan di Timor-Leste, Asosiasaun Chega Ba Ita (ACbit), Asosiasaun HAK, Fundasaun Alola, Palang Merah Timor Leste (CVTL) dan International Committee of the Red Cross di Timor-Leste (ICRC-TL). Kelompok Kerja bekerja erat dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), Ombudsman untuk Hak Asasi Manusia dan Keadilan Timor-Leste (PDHJ), dan Centro Nacional Chega (CNC). Saat ini, kelompok kerja telah mengidentifikasi lebih dari 100 orang stolen children dan memfasilitasi lima reuni untuk 57 stolen children dan keluarga mereka.

Menyambut kelompok stolen children, Silverio Pinto, Ombudsman Timor-Leste, mendukung komitmen untuk isu ini, dengan menyatakan “Ini adalah hak semua orang untuk mengenal keluarga mereka dan warisan mereka. Ini adalah kewajiban negara.” Vela Oktarini, mewakili Komnas HAM, menegaskan kembali kerjasama antara PDHJ dan Komnas HAM, “Nota Kesepahaman kami termasuk sebuah komitmen bersama untuk menemukan anak-anak yang dipisahkan sebagai dasar persahabatan di antara kedua negara.”

Berharap dari momentum yang muncul dari reuni ini, Kelompok Kerja meminta Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste untuk mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi dari CAVR dan KKP. Termasuk:

  • Membentuk sebuah komisi untuk “mendapatkan informasi tentang nasib dari orang hilang dan bekerjasama untuk mengumpulkan data dan menyediakan informasi untuk keluarga mereka,” termasuk anak-anak yang dipisahkan.
  • Bersama dengan masyarakat sipil; badan internasional yang relevan; kementrian pemerintah; dua institusi hak asasi manusia nasional, Komnas HAM dan PDHJ; dan Centro Nacional Chega, mengembangkan sebuah program atau mekanisme untuk membiayai dan memfasilitasi kunjungan reuni untuk lebih banyak stolen children yang telah ditemukan.
  • Menegakkan hak dari stolen children dengan mengeluarkan identifikasi dan dokumen-dokumen kewarganegaraan dan menyediakan status bebas visa bagi stolen children dan keluarga mereka yang memegang passport Indonesia dan mau mengunjungi Timor-Leste.
  • Mendukung dan membiayai masyarakat sipil di dua negara yang berusaha untuk melacak, mendokumentasikan dan menghadapi kebutuhan hukum, finansial dan psikososial dari stolen children dan keluarganya.