Press Release

Efisiensi Anggaran ala Rezim Prabowo-Gibran, Korban Pelanggaran Berat HAM Dikorbankan?

Jakarta, 17 Februari 2025 – Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) sangat menyesalkan kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran berupa pemangkasan anggaran yang berdampak pada pemulihan hak korban pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM). Pemangkasan anggaran melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 telah berimplikasi serius terhadap lembaga-lembaga kunci dalam perlindungan dan pemenuhan hak korban pelanggaran berat HAM, khususnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Berbagai dampak langsung sudah dirasakan korban pelanggaran berat HAM di berbagai wilayah Indonesia hingga menghilangkan kepercayaan dan harapan korban atas negara, sekaligus menunjukkan kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawabnya. Dampak ini terjadi meluas di seluruh Indonesia, beberapa yang ditemui oleh KKPK di antaranya:

  • Yogyakarta: Korban ‘65 yang telah diverifikasi Komnas HAM dan menerima Buku Hijau dari LPSK tidak lagi bisa mengakses bantuan medis yang dijanjikan negara. Rumah sakit yang sebelumnya bekerja sama dengan LPSK mulai menolak layanan bagi korban karena keterbatasan anggaran. Bahkan, korban yang sudah menjalani tindakan medis kini harus menanggung biaya sendiri.  
  • Solo: Pemangkasan anggaran membuat Komnas HAM tidak bisa turun ke lapangan untuk melakukan verifikasi korban dan menerbitkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM)—dokumen penting sebagai bentuk pengakuan negara atas kondisi korban.
  • Jakarta: Kelompok organisasi yang mendampingi korban juga telah menunggu hingga 6 bulan kedatangan Komnas HAM untuk melakukan verifikasi korban pelanggaran berat HAM yang mereka dampingi, baik korban Mei, Tanjung Priok, Penghilangan Paksa, dan korban-korban dampingan lainnya. 
  • Aceh: Para korban dihadapkan pada status tidak jelas akibat pemangkasan anggaran. Termasuk ruang koordinasi antara lembaga di Jakarta dengan KKR Aceh untuk verifikasi korban dan pemulihan. Ditambah, ketidakjelasan pengelolaan dan peresmian living park yang minim partisipasi korban dan pendamping di Aceh. Persoalan pengelolaan serta isi narasi konflik di living park sulit diraih oleh korban yang menginginkan ruang pengakuan, pembelajaran sejarah, dan upaya mencegah keberulangan konflik. 
  • Palu: Anggaran untuk verifikasi korban yang dibutuhkan agar mereka bisa mengakses layanan pemulihan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah dihilangkan.
  • Selain itu, upaya advokasi pengesahan RUU Ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa juga turut terdampak, akibat keterbatasan dukungan Komnas HAM dan Komnas Perempuan setelah pemangkasan anggaran, padahal ratifikasi ini penting untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa penghilangan paksa terjadi di Indonesia.

KKPK menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan hak-hak korban pelanggaran berat HAM. Perlu diingat dan ditekankan bahwa negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan akses pemulihan dan layanan bagi korban untuk tetap tersedia. Kebijakan efisiensi yang berdampak pada hilangnya akses keadilan bagi para korban merupakan bentuk pengabaian sistematis oleh pemerintah saat ini. Berbagai mekanisme pemulihan dan pengakuan terhadap korban, yang sudah dimulai dari Reformasi hingga memunculkan mekanisme di tingkat lokal dan nasional, terenggut atas alasan efisiensi. Oleh karena itu, kami menuntut:

  1. Pemerintah segera mencabut atau merevisi kebijakan pemangkasan anggaran bagi lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak korban pelanggaran berat HAM;
  2. Komnas HAM, LPSK, dan Komnas Perempuan agar mendapatkan anggaran yang cukup untuk menjalankan mandatnya, termasuk verifikasi, layanan medis, psikososial, dan bantuan hukum bagi korban, serta penyelidikan pro-yustisia bagi Komnas HAM;
  3. Komnas HAM, LPSK, dan Komnas Perempuan untuk menyikapi pemangkasan anggaran dengan bijak sehingga pemenuhan hak korban pelanggaran berat HAM tetap dapat berjalan;
  4. Pemerintah menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak korban pelanggaran berat HAM. Termasuk memastikan komitmennya terhadap “keberlanjutan” yang sudah dimulai dari kebijakan pemerintahan sebelumnya dengan langkah konkret; dan
  5. DPR RI, khususnya Komisi XIII, untuk melakukan pengawasan ketat terhadap dampak pemangkasan anggaran terhadap pemajuan HAM di Indonesia, terutama pemenuhan hak korban pelanggaran berat HAM.

Kami mengajak seluruh masyarakat sipil, korban, dan keluarga korban untuk terus bersuara dan menuntut pertanggungjawaban negara. Efisiensi anggaran tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan keadilan bagi korban pelanggaran berat HAM di Indonesia.

Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK)

Tentang KKPK: KKPK adalah sebuah aliansi dari berbagai organisasi dan individu yang mendukung perjuangan dan penegakan HAM serta mendorong pertanggungjawaban Negara untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM. Dibentuk tahun 2008, KKPK mengusung nilai-nilai keragaman, transparan, akuntabilitas, dan demokratis. Dalam berkoalisi, KKPK memiliki prinsip untuk menjaga kesetaraan, solidaritas, imparsial/non-partisan, dialog, dan belajar dari pengalaman. Lihat Ringkasan Eksekutif Laporan KKPK berjudul Menemukan Kembali Indonesia (2015) pada: https://asia-ajar.org/wp-content/uploads/2020/05/2.-RINGKASAN-EKSEKUTIF-Menemukan-Kembali-Indonesia.pdf